Oktober (Robert Frost)

Leave a comment
Uncategorized

O pagi Oktober yang hening,

Dedaunanmu telah matang untuk musim gugur;

Angin esok hari, jika ia liar,

Akan menyia-nyiakan mereka semua.

Burung gagak berseru-seru di atas hutan;

Besok mereka mungkin akan berkumpul dan pergi.

O pagi Oktober yang hening,

Mulailah jam-jam hari ini dengan lambat.

Buatlah hari ini terasa tidak singkat

Hati yang tak enggan diperdaya,

Pukau kami dengan cara yang kamu tahu.

Lepaskan satu daun saat matahari terbit;

Pada tengah hari lepaskanlah daun yang lain;

Satu dari pohon kami, satu dari yang jauh.

Perlambat sinar matahari dengan embun yang lembut;

Mempesona tanah dengan bunga kecubung.

Lambat, lambat!

Demi buah anggur, jika semuanya,

Yang daunnya sudah terbakar oleh embun beku,

Yang buahnya bergerombol harus hilang—Demi buah anggur, di sepanjang tembok.

Road Trip Bali – Malang – Surabaya

Leave a comment
Catatan Perjalanan

Dari kejauhan nampak Selat Bali dihiasi kerlap kerlip lampu feri yang hilir mudik dari Ketapang ke Gilimanuk. Cahaya matahari masih lembut sekali. Setelah menepikan mobil di depan deretan kios yang sepertinya masih baru dibangun, aku beranjak keluar dari mobil, merenggangkan badan dan menatap kesibukan di Selat Bali di pagi hari. Aku lelah tapi lega sudah menempuh separuh perjalanan Malang – Bali dengan cepat dan selamat. Di dalam mobil, tiga anak kecil dan dua ibu muda sedang tertidur lelap. 

Seorang teman pernah bilang, driving is therapeutic. Kalau bahasa sekarangnya, driving is healing. Itu benar sekali. Tapi kalau nyetir mobil dengan penumpang seperti mereka, rasanya kok ga sido therapeutic. Jadinya malah deg2an apakah bisa menjadi pengemudi yang baik dan mengantar mereka dengan selamat ke tujuan. 

Untunglah kedua ibu2 itu bukan tipe penumpang yang rewel, yang suka gebrak2 dashboard mobil kalau merasa mobil ngebut atau teriak2 kalau papasan dengan bus malam yang melaju kencang. Seingatku mereka cuma sekali agak berteriak kaget ketika sebuah bus malam melaju kencang nyaris bersenggolan spion dengan mobil kami di sebuah tikungan di Alas Baluran.  

Anak2 kecil itu juga. Di sepanjang perjalanan mereka lebih banyak tidur. Kecuali Mirai. Di bagian berikutnya akan aku ceritakan bagaimana Mirai adalah seorang navigator yang handal. 

Terakhir kali aku menempuh perjalanan darat dari Surabaya ke Bali adalah pada tahun 1997 untuk merayakan kelulusan SMA. Aku dan ketiga temanku, Dira, Didik, dan Kembon bergantian menyetir mobil Taft GT berbahan bakar diesel. Tentu saja aku sudah lupa berapa lama waktu dan secapek apa perjalanan ketika itu. Aku kebagian menyetir dari Surabaya hingga Paiton. Lalu ketika balik ke Surabaya, aku dapat gillran menyetir dari Denpasar ke Gilimanuk. Selain itu, seingatku saat itu kami tidak sering berhenti di jalanan. Tancap gas terus. Maklum, darah muda. Wkwkw. 

Berbekal pengalaman itu aku mengiyakan ajakan dua ibu2 muda, Oca dan Putri , untuk melakukan road trip Surabaya – Malang – Bali pulang pergi.  Semua barang akan dikirim dengan ekspedisi ke Malang dan Surabaya. Dengan demikian, mobil Mitsubishi Expander itu akan cukup lega diisi kami bertiga dan 3 anak kecil, Mirai dan Pao anaknya Oca serta Sebas anaknya Putri. 

Beberapa hari sebelum berangkat,  ada perubahan rencana. Ada tambahan mobil dan Dira menawarkan diri untuk menemani karena dia sekalian mau pulang ke Surabaya dari Bali. 

Persiapan kami standar saja, seperti memastikan kondisi mesin, ban dan perlengkapan seperti dongkrak. Persiapanku pribadi adalah untuk menyiapkan kondisi kesehatan dan mental. Soal kesehatan aku memastikan cukup tidur dan fit sebelum berangkat. Untuk melawan kantuk di jalan, aku membekali diri dengan kopi cold brew Gambino dan Amo Gambino. Kalau memang ngantuk bener ya aku akan memilih untuk menepi dan tidur. Soal mental, aku membagi perjalanan Surabaya – Malang – Denpasar yang total berjarak total 530 km ini ke dalam lima etape. Setiap etape aku bagi lagi jadi jarak per 25 km. Jarak normal yang aku tempuh setiap hari dari rumah ke kantor setiap hari di Timika. 

Puas menatap lalu lalang feri di Selat Bali, aku kembali masuk ke mobil. Semua masih tertidur dengan lelap. Aku memasang seat belt, menyalakan mesin mobil, membacai catatan di setiap etape yang aku lalui dari Bali ke Surabaya. Catatan itu  aku tulis ketika sedang berhenti atau ketika kena macet. Sambil melanjutkan perjalanan ke arah pelabuhan Ketapang menempuh jalan yang belum ramai,  aku mengagumi diriku yang tidak kedinginan kena AC mobil sekalipun cuma bercelana pendek dan merasa kasihan pada kameraku yang nganggur. Rencanaku untuk foto tempat2 yang  menarik sama tidak terlaksana. Aku terlalu fokus nyetir. 

Denpasar – Gilimanuk 

Menurut Putri, jalanan di Bali lebih sempit dibanding di Jawa. Kalau kamu melintas di malam hari,  jalanan dari Denpasar ke Gilimanuk memang akan nampak sempit. Tapi kalau kamu melintas di pagi hari seperti ketika perjalananku dari Surabaya ke Bali, jalanan yang sempit itu terkompensasi dengan pemandangan indah di sepanjang jalan, terutama di daerah Jembrana dan Tabanan.  Dari arah Gilimanuk begitu masuk di Kabupaten Tabanan, kamu akan dihadapkan pada pilihan antara mengikuti jalan raya yang lurus atau berbelok ke kanan memasuki sebuah jalan yang disarankan Google Maps. Aku memilih mengikuti penunjuk jalan yang mengarahkan ke arah Denpasar. Dalam perjalanan dari Denpasar ke Gilimanuk, Dira menunjukkan pengalamannya menyetir Bali – Surabaya. Dengan sat set dia mencari celah untuk menyalip di antara rangkaian truk dan bus. Aku jadi terpacu mengikuti kecepatannya yang rata2 100 km/jam itu. Dari belakang aku bisa melihat Sebas sedang berlompatan dari jok tengah ke depan. 

Saat hendak menyeberang ke Pulau Jawa, pelabuhan Gilimanuk cukup padat. Mungkin karena banyak yang mudik ke arah barat menjelang libur Natal dan Tahun Baru. Kami sempat menunggu selama kurang lebih 40 menit sebelum akhirnya masuk ke perut feri. Sebaliknya ketika hendak menyeberang ke Pulau Bali, suasananya cukup sepi. Begitu tiba di Ketapang aku langsung ke loket untuk membeli tiket feri. Menurut mbak penjual tiket, setelah Natal penyeberangan jadi sepi. Ramenya adalah mulai tanggal 21 hingga 25 Desember.  Setelah memarkirkan mobil di dalam feri yang cuma terisi separuhnya itu, aku sempat tidur selama 45 menit selama penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk. Beda dengan ketika tiba di Ketapang, begitu tiba di Gilimanuk akan ada pemeriksaan KTP seluruh penumpang mobil yang dewasa.  Di Ketapang, setelah keluar dari feri kami  langsung melaju ke luar pelabuhan. 

Ketapang – Situbondo 

Keluar dari pelabuhan Ketapang, kaki sebelah kanan agak kram rasanya. Aku biarkan saja sambil sesekali mengurangi tekanan pedal gas untuk meregangkan kaki. Dira yang lebih dulu tiba di Ketapang sudah jauh di depan kami. Dari live location yang dia kirim, jaraknya sudah 30 menit di depan mobil kami. Aku terus memacu mobil hingga jalanan mendadak menjadi gelap dan semua bangunan di tepi jalan diganti pepohonan. Aku lihat Mirai dan Pao sudah tertidur. Kedua lenganku mendadak terasa dingin. Aku meminta Oca untuk mengambilkan jaketku yang tergeletak di bawah kakinya di antara berbagai tas. Di Alas Baluran, jalanannya agak menanjak di beberapa bagian. Berhati2lah di bagian itu, truk2 besar  kepayahan menanjak, bus2  melaju dengan cepat memanfaatkan jalanan menurun. 

Lepas dari Alas Baluran di tengah2 perjalanan menuju ke Situbondo, kami terjebak macet yang cukup parah. Semua mobil berhenti bergerak. Jam 3 pagi. Oca yang kelelahan setelah menemaniku ngobrol sepanjang Alas Baluran memilih untuk tidur dan memintaku untuk beristirahat sambil menunggu macet. Dira yang sudah berjarak 30 menit di depan ternyata juga kena macet. Turu ae turu, kata Putri. 

Aku memilih untuk turun dan ngobrol dengan beberapa sopir truk yang bergerombol di belakang mobilku. Ada mobil pribadi (sambil menunjuk ke mobilku) berhenti di tengah jalan, seru seorang sopir dari dalam truknya yang melaju dari arah berlawanan. Mendengar itu seorang sopir memilih menjalankan truknya yang berplat nomor Rembang di lajur kanan. Setengah jam kemudian barulah kami bisa kembali melaju. 

Dari arah Surabaya, ada SPBU terakhir di kiri jalan sebelum Alas Baluran yang menurutku enak untuk dijadikan tempat istirahat yang murah. Tempat parkir mobil dan motornya luas dan tidak mepet ke mesin pompa bensin. Aku bertemu dengan keluarga dari Bekasi yang beristirahat di situ setelah berkendara dari Bekasi selama lebih dari 12 jam. Mereka kembali melanjutkan perjalanan ke Bali setelah beristirahat sepanjang subuh.  Di belakang deretan toko yang menghadap parkiran mobil ada toilet yang bisa digunakan untuk buang air dan mandi. Bahkan ada dua gazebo yang pagi itu digunakan dua orang untuk tiduran. 

Situbondo – Probolinggo

Setelah keluar dari kota Situbondo, kami kembali kena macet di jalanan  depan PLTU Paiton tanpa penyebab jelas. Nah di ruas jalan ini Mirai terbukti menjadi navigator yang baik. Anak usia 6 tahun yang cerewet itu menceritakan berbagai macam hal. Mulai dari peliharaan imajinernya hingga mitos yang dia dengar di Youtube bahwa hal2 buruk selalu terjadi di jam 3 pagi. Sambil cerita Mirai memegang handphone yang baterenya sudah mau habis dan membacakan semua yang dia baca di Google maps. 

You look tired and sleepy, uncle, kata Mirai yang lebih sering berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. 

Ya, Mirai, after this macet, if you are sleepy and your mom is not awake, we will pull over to sleep, balasku dalam bahasa Inggris dengan logat yang aku mirip2kan dengan Uncle Roger.  

Beberapa menit kemudian kami kembali jalan dan melaju melintasi pembangkit listrik bagi pulau Jawa & Bali itu. Look, Mirai, this place bring lights to the entire island of Java and Bali, kataku. Mirai tidak membalas. Dia sibuk membahas warna2 jalan di peta Google Maps. 

Rasa kantukku langsung hilang begitu melihat lampu2 pembangkit listrik dan cerobong PLTU Paiton. Aku langsung tancap gas menelusuri jalanan lurus ke arah Probolinggo. Matahari sudah mulai terbit ketika aku singgah di sebuah pom bensin sebelum kota Probolinggo. Setelah secangkir kopi hitam seharga lima ribu rupiah berpindah ke botol minumku, aku merasa semakin segar dan kuat untuk melanjutkan perjalanan.  Now you can sleep, Mirai, its past your bed time, kataku pada Mirai yang sudah tidak cerewet lagi. 

Probolinggo – Malang 

Memasuki kota Probolinggo, kami disambut dengan suasana sebuah pasar pagi  dan kabar dari Putri bahwa mereka sudah tiba di Malang. Tidak lama kemudian kami sudah tiba di pintu tol Probolinggo Barat. Dalam perjalanan kembali dari Malang ke Bali, kami diingatkan oleh mamanya Oca agar memilih pintu tol Probolinggo Barat. Dari Malang kami bertolak ke Probolinggo melalui pintu tol Sawojajar. Setelah itu terus melaju ke arah Pandaan hingga akhirnya menemukan gerbang tol ke arah Probolinggo. Jalan tolnya sepi dan aspalnya bagus. Jalan tol itu kemudian bercabang di Probolinggo Barat dan Timur. 

Malang – Surabaya

Kami akhirnya tiba di rumah orang tua Putri jam 8:30 pagi. Dira yang sedang menikmati kopi dan jajanan pasar langsung menyambut dari balik pagar. Oca dan Pao langsung turun dari mobil dan memeluk kedua orang tua Putri. Mirai sang navigator masih tertidur. Setelah beristirahat kurang lebih 1 jam, Dira bergabung dengan aku dan Oca meneruskan perjalanan ke Surabaya.  Rute Surabaya – Malang ini  sama dengan Denpasar – Jimbaran. Kemacetan dan kepadatan jalan membuat rute ini menurutku sudah tidak bisa digolongkan sebagai road trip. 

Semakin mendekati kota Denpasar, jalanan semakin macet. Oca dan Putri memutar lagu2 masa remaja mereka, yang semuanya tidak pernah aku dengar. Sekalipun di perjalanan kembali ke Bali ini Dira tidak ikut menemani,  ternyata tidak secapek yang aku kira. Road trip ini juga tidak sesetress yang aku kira, sekalipun semobil dengan Oca, Mirai, Pao, Putri, dan Sebas. Semua keributan anak2 selama perjalanan dan keseruan berbagai obrolan Oca, Putri, dan Dira ternyata semakin menambah keseruan road trip ini. Kalau suatu saat mereka mengajakku lagi, aku pasti akan langsung menyahut, budhal

Surat untuk Keiko

Leave a comment
Tentang kawan

Halo Keiko, 

Bagaimana kabarmu? Semoga sehat dan baik selalu. Bagaimana kabar kotamu, Osaka? Semoga sudah tidak dicekam oleh pandemi. Di sini, pandemi seperti sudah benar -benar berlalu. Di Surabaya, hingga bulan Maret 2022 masih ada yang meninggal dan dimakamkan dengan prosedur Covid. Aku kurang tahu bagaimana di bulan Mei ini. 

Di bulan Mei ini aku malah teringat dirimu. Kamu berulang tahun di bulan Mei ini. Selain itu, beberapa belas tahun lalu di bulan Mei kamu tiba di Surabaya untuk sebuah proyek penelitian. Saat itu aku ditugaskan untuk menjemputmu di bandara. Berbekal sebuah kertas bertuliskan namamu dan ingatan dari fotomu yang aku lihat di komputer kampus, aku menunggu di depan pintu kedatangan. Itu pengalaman pertamaku menjemput orang di bandara. 

Aku tidak tahu bahwa akan ada banyak orang yang menjemput. Sambil agak berdesakan aku mengamati semua orang yang keluar dari pintu kedatangan. Melihat beberapa orang juga memegang kertas bertuliskan nama sambil memanggil-manggil nama orang itu, aku merasa konyol. Mau ikut manggil tapi kok ya malu. Mau diem aja takut kelewatan. 

Tepat di saat aku menunduk untuk mengeluarkan bungkus rokok, aku mendengar suara perempuan memanggilku, “Kahaya – san?” Belakangan aku baru tahu bahwa di Bahasa Jepang, Ca dieja menjadi Ka. 

Kamu benar – benar jauh dari bayanganku tentang orang dari “luar negeri.” Tinggi badanmu tidak lebih tinggi dariku. Di punggungmu tidak tersanding tas ransel besar. Yang ada sebuah tas selempang berwarna merah. Sambil berjalan memutar pagar pembatas, kamu menyeret sebuah koper besar berwarna biru. Rasanya seperti menjemput teman kuliah yang baru pulang bepergian dari Jakarta.  

Dalam perjalanan mengantarmu ke hotel, aku mendadak jadi pengemudi yang bodoh. Aku bingung antara harus lebih berhati2 mengemudikan mobil, mencari bahan pembicaraan dan berdiskusi dalam Bahasa Inggris.  Beberapa kali aku menginjak pedal rem agak mendadak, hingga tas selempangmu yang kamu taruh di jok belakang terjatuh ke bawah. Gedubrak. Ternyata isinya laptopmu. “Its okay,” katamu sambil merapikan rambut pendekmu. 

Aku agak lega karena Bahasa Inggrismu kira2 msh satu level lah denganku. Kalimatmu pendek2 rapi dengan tata bahasa yang apik dan kosakata yang belum pernah aku dengar seperti, “what is that building on our right hand side?”  

Apakah kamu masih susah membedakan kanan dan kiri? Awalnya aku kira karena kamu masih beradaptasi dengan kesemrawutan kota2 di Indonesia atau kamu cuma mau caper sama aku. Supaya aku mengantarmu ke mana2, mulai dari berbagai lorong di Sidotopo dan Ampel, sampai ke kafe2 di Surabaya. 

Saat itu pilihan kafe di Surabaya belum banyak seperti sekarang. Aku pernah mengajakmu ke sebuah warung kopi di dekat kampus, tapi kamu nampak kurang menikmatinya. Mungkin karena banyak nyamuk dan pria2 yg melihatmu. 

Baru di sebuah kafe di Tunjungan Plaza, aku melihatmu begitu santai dan bisa tertawa lepas.  Kamu ingat ga sih aku tidak mengoreksi caramu menyebut perahu menjadi pirahu? 

Kamu tertawa riang saat akhirnya aku beritahu yang benar adalah perahu? Derai tawa yang membuatku merasa menjadi pria paling diberkati se Surabaya timur.

Kamu menceritakan kesibukan penelitianmu. Aku yang cuma seorang staf biasa di universitas dan ditugaskan untuk menemanimu, hanya bisa sesekali menimpali. Selebihnya aku merasa sedang ikut mata kuliah antropologi yang diampu oleh seorang dosen yang menarik. 

Yang mengagetkan, kamu juga bercerita panjang lebar soal hubunganmu dg pacarmu di Jepang. “Hubungan kami serapuh tissue ini,”  katamu sambil meremas  tissue yang sempat aku gunakan untuk mengelap tumpahan kopi di meja. 

Sebelumnya kamu sempat cerita sedikit2 soal pacarmu itu. Aku membalasnya dengan menceritakan pacarku. Sesungguhnya saat itu aku berharap kamu cemburu mendengarkan cerita2 pacarku. Dan kadang, setibanya di rumah, aku suka berkhayal kamu memutuskan pacarmu seorang dokter muda yg membosankan itu, lalu memilih utk berpacaran denganku. 

Tentu saja itu hanya sekedar khayalan. Tapi di kafe itu, untuk sesaat aku merasa kita sudah berpacaran. 

Setelah kamu meremas tissue itu, aku mengenggam tanganmu. Aku seperti bisa merasakan semua kegelisahanmu. 

Seharusnya aku menciummu saat itu. Supaya ketika aku mengantarmu pulang ke bandara, aku bisa menciummu lagi saat kamu memintaku untuk  terus berkabar melalui email. 

Di saat aku menulis catatan ini, aku juga mencoba mencari tahu soal dirimu di facebook, instagram, dan twitter. Semuanya tanpa hasil. Di dunia di mana orang meninggalkan jejak digital, kamu seperti menghilang tanpa jejak. 

Aku cuma menemukan profil dirimu di sebuah situsweb dan abstrak penelitianmu. Mungkin kamu menggunakan nama lain atau nama samaran di media sosial. Mungkin kamu kembali ke pacarmu, menikah, lalu memiliki anak2 yang lucu. Semoga kamu mengingatku dan sesekali menyebutkan namaku. 

Seharusnya aku melakukan pesanmu untuk terus berkabar. Lebih jauh lagi, seharusnya aku berani untuk menjumpaimu di Osaka, seperti yang pernah kamu tuliskan di sebuah email kepadaku. 

Dengan demikian, aku akan bisa menulis jauh lebih banyak tentangmu, tentang kita. Aku mungkin juga akan bisa mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu di sebuah hari yang sederhana di bulan Mei di Osaka, lalu mencium dan memelukmu. 

Salam dan doaku selalu untukmu, 

Cahaya 

Selamat ulang tahun, Ma

Leave a comment
Catatan Perjalanan / Keluarga / Tentang kota

Perjalanan dari Surabaya ke Malang sekarang jauh lebih lancar dan nyaman dibanding tahun 2015, Ma. 2015 itu tahun terakhir Mama ke Malang denganku. Gerbang tol ada di Rungkut. Tidak perlu jauh – jauh ke bundaran Waru.

Jalan tol yg merentang dari Surabaya ke Malang ini mulus dan luas. Sekalipun agak padat krn musim mudik Lebaran setelah dua tahun terkurung di rumah karena pandemi , mobil2 berjalan dengan tertib. Seandainya Mama ikut, Mama ga perlu sampe nahan2 tangan di dashboard dan ngomel karena melihat aku ngebut. Biasanya Mama akan seperti itu di jalan yang menanjak sebelum Lawang.

Begitu masuk tol, tinggal tancap gas saja menempuh jalan tol sampai ke pintu keluar tol Pakisaji. Selepas pintu keluar, ada pertigaan dengan papan penunjuk jalan yang besar, lurus ke Sawojajar, belok kiri masuk ke kota Malang dan ke arah Blitar, kanan balik ke Surabaya.

Pertama kali lewat situ beberapa bulan lalu dengan Papa, aku berbelok kiri lalu belok kanan di sebuah pertigaan hingga tembus ke lapangan Rampal. Kemarin, di pertigaan itu, kami memutuskan berbelok kiri, lewat jalan kecil yang namanya Jalan Ki Ageng Gribig. Pasti Mama ga pernah dengar nama jalan itu. Papa aja baru dengar nama jalan itu. Mungkin kalau Kedungkandang, nama kecamatannya, Mama pernah dengar.

Jalan kecil itu tembus ke perempatan klenteng kota lama Malang. Kami memutuskan untuk singgah di Soto Lombok. Rame. Seandainya ga ketemu Tante Kadarwiyono ortunya Trevi yang datang serombongan dan ngajak ke lantai dua, Papa mungkin akan langsung ngajak pulang. Selesai makan, kami pamit cabut duluan ke keluarganya Trevy. Mereka mau liburan di salah satu hotel di Malang.

Perjalanan ke Krebet lancar jaya. Jalanan mulai padat di Pasar Bululawang hingga ke jalan utama sebelum masuk ke rumah. Sekarang di pertigaan mau masuk ke rumah ada dua orang yang membantu supaya mobil bisa masuk.

Sampai di rumah Krebet, aku masuk ke kamar tengah. Di situ biasanya Mama akan istirahat, setelah sebelumnya ngobrol2 dengan Mas Moko dan jalan2 ke dapur dan bagian belakang rumah.

Seperti itu rasanya skrg mengucapkan selamat ulang tahun ke Mama. Seperti membisikkan ucapan selamat ulang tahun kepada Mama yang sedang tertidur di kamar depan di rumah Krebet. Mama selalu terbangun kembali dan datang kepadaku di langit subuh dan senja, di obrolan2 dengan teman2, di roti bluder, di toko2 buku, dan di perjalanan dari Surabaya ke Malang.

Teman Pu Lahan

Leave a comment
Tentang kawan
Foto: Koleksi pribadi teman

“Pulang sudah. Ini hari Sabtu. Besok ibadah,” katanya sambil menyeruput Extrajoss susu. Aku tidak pernah memesan minuman kegemaran orang Timika itu. Tapi melihat temanku menyeruput segelas Extrajoss susu itu aku bisa mengerti kenapa minuman itu begitu digemari di sini.

Setelah menghabiskan Extrajoss susu, aku membantunya berkemas. Lumayan juga apa yang kami kerjakan hari ini. Mulai dari menyingkirkan kayu yang memalang jalan masuk ke lahannya, membersihkan sebagian kecil lahannya, menebar benih bayam, menanam beberapa biji alpukat, dan menerabas hutan di belakang lahannya. Rencananya mau lihat sungai yang menurut temanku itu bisa dijadikan tempat wisata alternatif di Timika. 

Dia bangga sekali dengan lahannya yang berlokasi sekitar 50 km dari Timika. Sejak punya lahan itu, setiap hari sabtu dia ke pergi ke lahannya. Di hari senin, dia akan menceritakan apa saja yang dia lakukan. Setelah beberapa kali cerita dan setelah sama2 isoman, akhirnya sekarang aku bisa melihat langsung lahannya. 

Dari Timika, kami melaju ke utara ke arah Kuala Kencana.  Kami berbelok ke kiri di perempatan sebelum Kuala Kencana, ke arah jalan Trans Papua yang rencananya akan menghubungkan Timika dengan Nabire. Itu rute yang biasa ditempuh orang Timika yang mau berwisata ke sebuah sungai yang Namanya Kali Pindah – pindah.  

Sebelum Kali Pindah – pindah, kami berbelok ke sebuah jalan makadam. Kurang lebih 1 km kemudian kami tiba di pinggir lokasi lahan. Setelah turun dari mobil, masih harus jalan kaki sekitar 500 meter menembus pepohonan yang membentuk kanopi yang menghalangi sinar matahari. Di  separuh gelap yang hijau itu, kata Goenawan Moehamad, yang kekal hadir. Tiap detik yang berlalu di Mimika ini, lagi – lagi meminjam kata – kata GM, seakan “menyelinap menyatu ke dalam klorofil” daun – daun dan batang – batang pepohonan ini.

Hingga akhirnya aku melihat sebuah bukaan lahan. Dia langsung memamerkan berbagai tanaman yang sudah dia tanam. Ada keladi, ubi, pisang, pinang, buah merah, bahkan tebu. Banyak juga. 

“Tanah luas jadi, apa saja kita bisa tanam. Kalau tidak tanam, rumput liar bisa tumbuh lagi,” katanya sambil menaruh hape dan tasnya di pondok kecil. “Tapi tanah di sini masih tidak seperti di Jawa. Tidak ada gunung api,” tambahnya lagi. Aku jadi ingat catatan Pram Ketika dia pertama tiba di Pulau Buru Bersama dengan ratusan Tahanan Politik korban Tragedi 1965. Pram mencatat di “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, tanah di Pulau Buru tidak subur dan sebaiknya dibiarkan jadi hutan dulu selama 100 tahun. Apakah hal itu juga berlaku di Papua? Rasanya tidak. Apalagi setelah melihat berbagai macam tanaman yang temanku semai dan mulai bertumbuh subur. 

Sebenarnya aku lebih sering duduk – duduk di pondok dan melihat temanku bekerja. Sesekali aku saja membantunya menebar benih dan menanam. Setelah sekitar 30 menit menyibukkan diri dia kembali ke pondok, mengajakku ke hutan di belakang lahannya, menceritakan bahwa sebenarnya dulu leluhurnya tinggal di sekitar sini sebelum kemudian pergi ke danau Tigi dan beranak pinak di sana, serta bagaimana dia berharap sepuluh tahun lagi lahan ini akan dinikmati hasilnya oleh dua orang anaknya, sambil membuka wadah minum yang ternyata berisi extrajoss susu, lalu mengajakku pulang. 

“Sebentar. Hape saya ketinggalan di pondok kah?” tanyanya sambil mencari di sekitar tempat duduk dan sekitar dashboard mobilnya. “Ah sudah, besok ibadah. Buat apa pikir hape?” balasku. “Ah, jangan, kita balik dulu, ya,” katanya. Mobil berbalik ke jalan makadam. Untung masih belum terlalu jauh dari lahan temanku.

Senja untuk Sukab

Leave a comment
Catatan Perjalanan

Sukab yang baik, 

Bagaimana kabarmu? Semoga kamu baik dan sehat selalu. Apakah kamu masih suka memotong dan mengirimkan senja ke pacarmu? Siapa Namanya? Alina ya kalau tidak salah. Kita lama tidak bertemu dan berkomunikasi ya, Kab. Aku kadang bertemu denganmu di mimpi. Bahkan di mimpi kamu membicarakan hal – hal yang menarik dan mengajakku untuk minum kopi. Ketika terbangun aku lupa apa yang kamu bicarakan tapi aku masih ingat caramu ngobrol dan mengajak ngopi. Aku belum pernah menemukan teman seperti dirimu. 

Tapi aku menemukan senja yang kamu sukai. Mungkin itu sama dengan senja yang kamu potong dan kirim melalui pos ke Alina. Aku menemukannya di kampung paling barat kabupaten ini, Potowayburu. Seperti yang kamu bilang, di setiap senja di pantai, pasti ada burung – burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan perahu. Selain itu, ada juga pohon kasuari, tenda terpal yang terkoyak, dan berbagai macam bungkusan plastik di pantai. Jika senja bisa dibuat tiruan dan dijual di toko, dikemas dalam bungkusan plastik, seperti yang kamu bilang, mungkin senja juga akan berakhir menjadi bungkusan di tepi pantai ini. 

Sebelum aku menemukan senjamu itu, aku bersama rombongan berangkat menuju kampung di barat timur Potowayburu bernama Umar. Kami berangkat dari sebuah dermaga kecil di Potowayburu. Dermaga itu bertempat di dekat Lokpon. Di Timika aku sering mendengar nama Lokpon dan selalu mengira itu adalah varian lain dari kata lowong atau tanah kosong. 

Baru di Potowayburu itu aku sadar, setelah sebuah karyawan perusahaan kayu yang beroperasi di situ menunjuk sebuah tumpukan kayu besar di pinggir sungai, “itu lokpon-nya.” Karena tidak ada sinyal aku tidak bisa gugling kata “Log Pond” alias tempat penumpukan kayu. 

Begitulah, Kab, dari lokpon itu, kami menumpang sebuah speed boat menuju ke Umar. Hampir satu jam perjalanannya. Setiba di pantai tempat kapal berlabuh, sudah jam 12 siang. Aku mengetahuinya dari bayangan patok kayu yang ditanam di pinggir pantai dan merasakannya dari pasir yang panas membara. Untung aku masih menjinjing sandalku. 

Sukab yang mencuri senja demi Alina, 

Sebelum aku menceritakan dua hal lain, aku perlu menyampaikan sesuatu. Bukan, bukan soal aku jatuh suka kepadamu. Tapi soal kekagetanku mengetahui kamu sudah sampai di pulau ini. Aku tidak menyangka manusia kamar seperti dirimu bisa sampai ke tempat ini. Aku membacanya di buku yang berjudul Berita Kehilangan. Tahu gitu kita bisa ketemuan di Timika atau Jayapura. Aku akan mengajakmu ngopi di kedai kopi kecil milik seorang teman. 

Hal pertama mau aku ceritakan adalah kampung tadi. Kakiku kepanasan dan aku memakai sandalku lagi setelah sebelumnya aku jinjing setelah turun dari perahu. Aku merasa seperti balatentara Jepang yang mendarat di pantai Kekwa beberapa dekade lampau. Di sepanjang perjalanan dari pantai ke kampung, aku melihat anak – anak kecil berjalan kaki dengan kaki kosong. Mereka tidak Nampak kepanasan. Sudah sekolah kah? kelas berapa? tanyaku. Seseorang dari mereka menjawab, kelas 2. 

Apakah kamu juga menjumpai anak – anak di Gapudmutu? Apakah mereka bersekolah? Di tempatku datang itu, anak -anak tidak sekolah karena guru – guru sedang tidak ada di kampung. Seorang pemuda kuliah di Timika, tapi karena kehabisan biaya dia pulang ke kampung. 

Hal kedua adalah apa yang kami lakukan di kampung itu. Kampung kecil yang bersih dan tertata rapi. Aku pernah ke kampung seperti ini di pesisir Mimika. Namanya Ipaya. Setiba di kampung, kami langsung mengunjungi beberapa tempat lalu melakukan pertemuan dengan warga di balai kampung. Warga berdatangan. Tua muda anak2. Laki perempuan. Mereka datang menceritakan berbagai kegiatan di kampung dan menyampaikan harapan mereka. Tentu ini berbeda sekali dengan yang kamu lakukan di Gapudmutu. 

Setelah pertemuan itu, kami pamit dan mengunjungi kampung Yapakopa di arah timur. Kami mencapai kampung melalui sebuah sungai dan melakukan aktivitas serupa. Di kampung itu, harapan warga ada banyak sekali, tapi intinya mereka mau ada sekolah, fasilitas kesehatan yang baik, dan akses telekomunikasi.

Sukab yang ramah dan selalu ramah, 

Setelah dari kampung itu barulah kami kembali ke kampung Potowayburu. Kami tiba di kampung, bukan di dermaga kecil dekat lokpon tadi. Warga menyambut dengan meriah dengan tarian dan nyanyian. Aku melihat sebuah tifa yang dicat berwarna biru. Semua orang menari dan menyanyi. Mereka hidup dari ritme dan tarian. Kita, kamu dan aku mungkin, hidup dari ritme di Strava dan rutinitas. Dari balai kampung di tengah pertemuan, aku melihat senja. 

Orang – orang mengabadikannya dan menyimpannya. Seperti kamu. Dan seperti kamu pula, aku berjalan ke tepi pantai, memotret senja, dengan harapan aku bisa mengirimkannya kepadamu setiba di Timika nanti. Jika nomermu sudah berubah dan sudah dipakai orang lain, biarlah senja itu jadi tersimpan di handphone-nya. Syukur2 bisa jadi screensaver atau jadi foto profil WA dan menemani saat2 sunyinya. 

Lebih syukur lagi jika kamu bisa menemukan postingan ini. 

Doaku selalu untuk kesehatan dan kebahagiaanmu, Sukab.

Cahaya 

Meja Kerja Cahaya

Leave a comment
Tentang kawan / Uncategorized

Krek. Krekkk. Krek. Cahaya berdiri dari kursinya dan meregangkan kaki, jari jemari tangan, dan lehernya. Dia suka sekali suara2 itu. Suara2 yang pernah membuat seorang teman bulenya khawatir bahwa jari2 Cahaya pada patah. Dia juga tidak paham kebiasaan Cahaya minum Tolak Angin sacchetan. Cahaya tertawa mengingat itu. “Dasar bule,” katanya sambil beranjak dari mejanya.

Meja kerja Cahaya berada di sebuah kamar yang kecil. Ukurannya cuma 3 x 2 meter. Catnya abu2. Di atas meja kerja yg terbuat dari kayu besi itu cuma ada laptop, sebotol air, sebuah earphone warna putih, kotak plastik berisi buku tulis dan kain lap warna biru, sebuah handphobe, dan segelas kopi dengan sendok kecil terkulai di lepek.

Sekalipun kadang sumpek, apalagi jika cuaca Timika sedang panas, Cahaya suka dengan meja kerjanya, karena menghadap ke sebuah jendela kecil dan pemandangan rerimbunan batang2 lengkuas setinggi 2 meter. Biasanya setelah melakukan peregangan lengkap dengan suara krek2 itu, Cahaya tetap dalam posisi berdiri lalu menyalakan sebatang rokok. Asap rokok berhembus keluar dari jendela menimpa batang2 lengkuas.

Tiba2 dia teringat teman bulenya lagi, yang kini tinggal di sebuah rimba luas di Ekuador. Setiap bulan Cahaya rutin mengirimkan tulisan2nya utk temannya itu.

“Tulisanmu sama buruknya dg roman2 picisan yang saya baca di sini. Itu kenapa saya suka tulisan2mu. Tetap kirim saya, ya. Haha!” Kata bule itu.

“Taek,” balas Cahaya.

“Taek? Apa itu?” Tanya si bule yg tidak paham Bahasa Indonesia.

“Sama dengan baik, baek,” balas Cahaya.

“Ah, bagus sekali,” kata si Bule yg kemudian meneruskan tawanya.

Dialog itu berakhir dengan si bule yang memamerkan meja tempatnya membaca. Mejanya tinggi. Di pinggir sungai, si bule tua itu membaca perlahan2 cerita cintanya. “Momen2 kenikmatan” katanya.

Cahaya menatap mejanya sendiri. Meja yg tiba2 terasa pendek, jauh di bawah, mencengkeram tubuhnya ke kursi reot, menjauhkannya dari batang2 lengkuas.

.

Cahaya kemudian menyingkirkan mejanya, lalu membuat meja baru. Meja setinggi pinggangnya, yang membuatnya bisa menulis dalam posisi berdiri. Cahaya berharap dia bisa menulis cerita2 yg lebih buruk lagi si bule tua. Cerita2 yg mirip dg yg ditemui si bule tua di Ekuador. Tentang orang utan yg makin terdesak krn hutannya habis, seperti macan kumbang di Ekuador dan tentang kota yang akan dibangun di tengah belantara mirip Amazon. Cerita2 yg akan membuat Antonio Jose Bolivar, si bule tua itu, terduduk setelah membaca, dan menggumam, “ini taek sekali.”

Suatu Sore di Kantor Ema

Leave a comment
Tentang kawan

“Timika, seh, siang panas bokar, sore hujan besar,” keluh Ema sambil menatap layar komputer. Sudah jam 5 sore, tapi Ema masih belum bisa pulang. Bukan karena hujan besar, tapi karena tugas kuliahnya yang belum kelar. Melanjutkan kuliah sambil kerja memang tidak mudah. Bagi Ema, itu sebuah tantangan tersendiri.

“Masih sibuk, kah?” tanya Astri, rekan kerja Ema. “Kasih selesai tugas kuliah ini yang…. Sa baru bisa bikin tadi siang. Kalau di rumah tra bisa kas selesai ini. Ka Astri mau pulang kah? Masih hujan besar ini.” tanya Ema. “Iyo. Pace ada tunggu depan kantor itu.” balas Astri.

Ema menoleh ke jendela besar di balik meja kerjanya. Benar, sebuah mobil avanza putih su parkir di balik pagar kantor. Hujan masih turun dengan deras. Suasana sudah mulai gelap.

Kantor Ema terletak di sebuah ruas jalan Timika yang dulu disebut dengan Jalan Freeport. Kalau malam agak sepi. Meja kerja Ema menghadap pintu masuk ruangannya. Di lorong balik pintu itu juga sudah gelap. Kenapa tidak ada yang kasih nyala lampu kah? Batin Ema.

Mendadak hujan agak mereda, tapi anehnya suhu jadi agak dingin. Ema meraih remote pendingin ruangan di meja Dokter Desi dan mematikan pendingin ruangan. Tapi Ema merasa ruangan masih agak dingin. Belum sampai di mejanya Kembali, Ema merasa ada sosok manusia di pintu masuknya. Sosok itu berdiri tepat di pintu masuk. Perempuan, sudah agak tua, rambutnya pendek, mengenakan kaos warna putih dan membawa kantong plastik warna hitam. Belum habis kaget Ema, perempuan itu sudah menyapanya.

“Anak, saya mau pulang ke rumah.” Katanya sambil menatap Ema, tapi tidak seperti menatap juga. “Aduh, ibu, bikin kaget saja. Rumah di mana, kah?” tanya Ema.

Si ibu menyebut nama sebuah daerah di Timika. Lumayan jauh jaraknya dari kantor. Ema mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Cukup untuk ongkos ibu itu naik ojek ke rumahnya. Setelah mengucapkan terima kasih, si ibu langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Ema yang berdiri bingung.

Ema kembali duduk di kursinya dan menatap layer komputernya. Tapi pikirannya masih ke ibu misterius itu. Di luar, hujan kembali turun dengan deras. Hmm…Bagaimana ibu itu bisa tidak basah padahal tadi di luar hujan deras. Dia bawa payung, kah? Pikir Ema.

Ema mengintip keluar melalui jendela besar di belakang meja kerjanya. Seharusnya ibu itu masih ada di depan. Tidak ada orang sama sekali. Tiba2 Ema merasa bulu kuduk di tengkuknya berdiri.

Ema berlari ke luar ruangannya. Lorong dan lobi kantor masih gelap. Benar. Tidak ada orang sama sekali. Sambil berteriak, Ema bertanya ke Satpam apakah benar tadi seorang perempuan agak tua yang masuk ke kantor. “Tidak ada, ibu. Saya dari tadi duduk di sini tidak ada orang masuk,” Balas pak satpam dengan wajah kebingungan. Ema bergidik.

Ema langsung berlari Kembali ke ruangannya. Menyimpan semua barang2nya dan mengunci pintu. Dalam perjalanan pulang, Ema memikirkan ibu misterius itu. Tiba2 dia merasa menyesal, kenapa tidak tanya nomor togel ke ibu itu.

Sebuah Perjalanan

Leave a comment
Catatan Perjalanan

Foto Kapal Motor (KM) Dobonsolo ini diambil seorang teman, sekitar jam 5 sore tidak lama setelah terompet kapal berbunyi dan kapal meninggalkan pelabuhan Jayapura.

“Sio, sayang,” katanya. Dia teringat dirinya menumpang KM Ciremai 26 tahun lalu untuk kuliah di sebuah universitas swasta terkemuka di Semarang. Setelah lulus dan meraih gelar Sarjana Ekonomi (Akuntansi), barulah ia kembali ke Jayapura pada tahun 2001.

Jayapura sdh banyak berubah saat itu, katanya. Pasar yang dulunya di Abepura pindah ke Youtefa, ke daerah yg di masa dia masih SMA adalah daerah rawa, hutan sagu, dan sering banjir.

Dia tdk heran jika sekarang pasar itu dan beberapa tempat di daerah itu jadi tempat langganan banjir. Yang bikin dia heran adalah derasnya curah hujan di Jayapura pada awal Januari 2022 kemarin.

“Tahun kembar (tahun 2022 maksudnya) ini memang….” katanya. Memang apa? Tanyaku balik. Pria kelahiran Paniai itu diam saja sambil mengeluarkan sebungkus rokok rasa jeruk dan memandang KM Dobonsolo yg semakin menjauh. Mungkin dia mau bilang dunia sudah berubah. Aku tdk bertanya lagi.

Tiga Kisah dalam Satu Kota

Leave a comment
Buku / Tentang kota

Judul: Lupakan Aleppo

Penulis: Paola Salwan Daher 

Penerjemah: Lisa Soeranto

Penerbit: CV. Marjin Kiri, Tangerang Selatan, 2020

Tebal: 110 halaman

Tiga kisah di dalam novel ini menunjukkan bagaimana manusia berjuang menghadapi dampak dari agresi, konflik politik, dan tekanan masyarakat yang patriarkis.  

Abu Nuwas, yang terusir dari tanah airnya di Jaffa, Palestina; Shirine, seorang perawat yang memutuskan untuk meninggalkan Beirut, Lebanon yang diporakporandakan perang saudara; dan Noha, seorang perempuan Arab yang meninggalkan Paris ke Syria hanya demi menyenangkan ayahnya lalu menikah dengan seorang pria bernama Fouad. Mereka kemudian memulai kehidupan baru di Aleppo, Syria.

Abu Nuwas menjadi seorang pawang merpati yang terbaik di Aleppo, Shirine menjadi seorang pemandu wisata, dan Noha, sebagai seorang istri. Shirine dan Noha saling mengamati dari balkon apartemen mereka masing – masing.

Shirine berjuang menghadapi kenangan akan Beirut dan konflik yang mengoyak kota tercintanya itu, Georges kekasihnya yang gugur, dan perkembangan situasi di Aleppo. Dengan semua yang telah dialaminya itu, Shirine tidak mengejar akhir bahagia dari serangkaian kisah pilu akibat konflik. Bagi Shirine, dia sudah tidak punya tujuan untuk menjadi bahagia. “Hidupku harus bermanfaat dan patut dikenang, atau tidak hidup sama sekali.” (Hal. 75) 

Berbeda dengan Shirine yang sudah memilih jalan ninjanya tersebut, Noha berjuang menghadapi tragedi pribadi, menghadapi seorang suami yang menggilas identitasnya. Mereduksi dirinya sekedar jadi seorang istri yang submisif, sebuah “kartu nama yang bernyawa.” (Hal. 42) Noha menyadari dirinya “bukan sekedar adendum dari eksistensi seorang laki – laki yang tidak akan memberiku kepuasan.” (Hal. 55) 

Shirine dan Noha kemudian dipertemukan ketika Noha overdosis obat antidepresan. Sebuah pertemuan yang kemudian membuat Shirine menghentikan pertanyaan-pertanyaan untuk dirinya sendiri, mulai menyimak kisah Noha (Hal. 108), dan menemani Noha mengambil langkah berani dalam kehidupannya. 

Sementara di sisi lain Aleppo, Abu Nuwas memandang langit Aleppo dan merpati-merpatinya sambil terus mengenang Lamis dan tanahnya yang “dirampas oleh Bencana Nakba.” (Hal. 68) 

Menghadapi agresi, konflik, dan tragedi, apalagi yang bisa dilakukan manusia selain tertawa, tertawa, dan meneruskan perjuangan?